Minggu, 09 Agustus 2015

Ini cerita Singapura bisa merdeka, walau melarat dan tak punya SDA

 Jakarta, Siep-Asso. News---Hari ini, Minggu (9/8), kegembiraan sedang menyelimuti rakyat Singapura. Negara terkaya di Asia Tenggara serta mitra penting Indonesia itu merayakan 50 tahun kemerdekaan. Wilayah yang dulu sangat miskin tersebut, kini telah menjadi kekuatan regional, baik di bidang ekonomi, politik, hingga militer, kendati nyaris tidak memiliki sumber daya alam (SDA) mumpuni.
Perayaan kemerdekaan Singapura. ©2015 DW
Sepanjang hari ini, merdeka.com menyajikan rangkaian laporan serba-serbi Singapura selama setengah abad terakhir. Termasuk hubungan negara kota ini dengan Indonesia yang diwarnai pasang surut. Untuk memulai seri laporan khusus 50 tahun Kemerdekaan Singapura, dewan redaksi merasa perlu menyajikan sedikit gambaran sejarah terbentuknya negara mungil tersebut.
Mayoritas penduduk Indonesia tentu mengenal negara bekas jajahan Inggris yang luasnya cuma setara DKI Jakarta ini. Tapi bagaimana ceritanya Singapura sanggup menjadi negara merdeka? Begini kronologinya:
Pada abad 7 hingga 12 Masehi, pulau yang kini disebut Singapura masih bernama Tumasik (atau Temasek). Kawasan ini berada di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Kawasan ini ramai sebagai pusat perdagangan karena strategis di Selat Malaka. Setelah pengaruh Sriwijaya memudar, Kesultanan Johor, kini di Malaysia, segera mencaploknya dan berkuasa cukup lama, sejak abad 16 hingga 19.
Singapura perlahan menjadi kota modern dipicu perjanjian Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles dengan Sultan Hussein Shah, penguasa pulau kecil itu. Negeri Ratu Elizabeth ini membangun pangkalan militer, sekaligus infrastruktur dasar untuk cikal bakal kota Singapura masa kini.
Pada Perang Dunia Kedua, Jepang mengalahkan Inggris lalu menguasai Singapura. Pada saat itu, bibit-bibit pertikaian antar ras mulai muncul. Dari total populasi Singapura, imigran asal China mencapai separuh lebih manusia yang mukim di sana. Warga keturunan Tiongkok sering berebut pekerjaan dengan orang Melayu yang merasa penduduk pribumi.
Jelang Perang Dunia berkecamuk, warga Singapura aktif menuntut perluasan otonomi khusus dari penguasa kolonial. Partai-partai bermunculan. Salah satunya Partai Aksi Rakyat (PAP) yang dipimpin Lee Kuan Yew.
Di akhir perang, Jepang kalah. Inggris kembali ke wilayah itu dan memberi status Singapura otonomi khusus seperti Malaysia. Pada pemilihan umum 1959, Lee Kuan Yew terpilih menjadi perdana menteri.
Sejak menguasai pemerintahan, Lee dan PAP membayangkan negara kota itu harus bergabung dengan Federasi Malaya. Tanpa adanya dukungan Malaysia, Lee khawatir Singapura akan kehabisan sumber daya, khususnya bahan bakar dan air bersih.
Kehancuran infrastruktur masih membayangi akibat ulah tentara pendudukan Jepang selama 1942-1945. Ekspatriat menyebut Singapura saat itu sebagai 'limbah kemelaratan'.
Nyaris 70 persen penduduk miskin, warga peranakan Tionghoa, India, dan etnis lain tidur berjubel di pemukiman kumuh. Malaria menjangkit di mana-mana.
Pada 31 Agustus 1963, Singapura resmi bergabung dengan Federasi Malaysia, bersama Sabah dan Serawak.
Sayangnya, sepanjang awal 1960, etnis Melayu banyak menyerang penduduk Tionghoa, utamanya dipicu isu ekonomi. Warga mayoritas Singapura merasa terdiskriminasi.
Lee akhirnya memberanikan diri berpisah dari Federasi Malaya pada 9 Agustus 1965. 'Kemerdekaan' mendadak itu membuatnya frustrasi. Lee tidak keluar kamar selama empat hari memikirkan nasib warga Singapura. Dia menangis di televisi ketika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar